halo para reader yang setia membaca!
moga-moga ilmu ini bermanfaat..

Saturday 20 October 2012

Policy Making in Japan

ini adalah hasil tugasku ketika aku masih kuliah pada jurusan hubungan internasional, mungkin ini bisa membantu anda sekalian khususnya anda yang masih mempelajari hubungan internasional pada bagian perbandingan politik. tugas ini adalah hasil dari pembelajaran saya tentang pembuatan kebijakan politik di jepang.

 1.      Siklus Analisa Proses Pembuatan Kebijakan di Jepang
a.      Agenda Setting
Pada tahap ini, yang dilakukan adalah menentukan berbagai masalah-masalah apa yang akan diputuskan, masalah apa yang akan dibahas atau ditangani oleh pemerintah. Karena Jepang merupakan Negara yang menganut sistem politik demokrasi, maka fokus pembicaraannya adalah mengenai interaksi aktif yang erat, selaras, saling mengisidan saling memberi pengertian antara komponen supra struktur politik, sehingga terdapat suasana kehidupan kenegaraan yang harmonis dalam menentukan kebijakan umum dan menetapkan keputusan politik. Dalam hal ini, masyarakat yang tercermin dalam komponen –komponen infra struktur politik berfungsi sebagai masukan (input) yang berwujud pernyataan kehendak dan tuntutan masyarakat, sedangkan supra struktur politik berfungsi sebagai output dalam hal menentukan kebijakan umum yang berwujud keputusan-keputusan politik.
Jepang mempunyai struktur ketatanegaraan yang meliputi supra struktur politik dan infra struktur politik.
  • ·         Supra Struktur Politik


Meliputi lembaga-lembaga kenegaraan atau alat-alat perlengkap Negara. Supra struktur politik Negara Jepang menurut Konstitusi 1947 terdiri dari:
a.       Lembaga Legislatif (Legislature) : National Diet (Parlemen Nasional)
b.      Lembaga Eksekutif (Executive) : Cabinet (Dewan Menteri) yang dipimpin oleh Perdana Menteri
c.       Lembaga Judisiil (Judiciary) : Supreme Court (Mahkamah Agung)

  • ·         Infra Struktur Politik
    Meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan lembaga –lembaga kemasyarakatan, yang dalam aktivitasnya mempengaruhi (baik secara langsung  maupun tidak langsung) lembaga-lembaga kenegaraan dalam menjalankan fungsi serta kekuasaannya masing-masing. Infrastruktur ini terdiri dari lima 5 komponen/unsur, yaitu :
    1.      Partai politik (political party)
    2.      Golongan kepentingan (interest group), terdiri dari :
    a.       Interest group asosiasi
    b.      Interest group institusional
    c.       Interest group non asosiasi
    d.      Interest group yang anomik
    3.      Golongan penekan (pressure group)
    4.      Alat komunikasi politik (media political communication)
    5.      Tokoh politik (political figure)



Jepang sebagai suatu negara yang menganut sistem politik demokrasi, tidak dapat meniadakan hidup dan berkembangnya partai politik, dengan kata lain adanya partai politik merupakan salah satu ciri bahwa Jepang merupakan negara demokrasi. Sampai saat ini, Jepang menganut sistem multy partai yaitu ada enam (6) partai besar, yaitu:
1.      Liberal Democratic Partay (jiyu Minshuto or Jiminto), yang banyak didukung oleh birokrat, pengusaha, dan petani.
2.      The Japan Socialist Party (nippon S Hakaito), yang didukung oleh buruh
3.      The Komneito (Clean Goverment Party), yang didukung para penganut agama Budha.
4.      The Democatic Socialist Party (Minshato)yang didukung oleh buruh
5.      The Japan Communist Party (Nihon Kyosanto), yang didukung oleh komunis.
6.      The United Social Democratic Party (Shakai Minshu Rengo of Shminren), merupakan partai termuda dan terkecil di Jepang

Sejak pasca Perang Dunia kedua hingga saat ini Partai Demokrasi Liberal (LDP) mendominasi di Jepang. Banyak para anggota dari Partai Demokrasi Liberal yang duduk di Cabinet dan National Diet.

Golongan kepentingan (interest group) di Jepang, antara lain ialah kelompok perusahaan-perusahaan besar Jepang atau kelompok Big Business . Ada empat (4) asosiasi bisnis (business associations) khusus yang terutama / penting di Jepang, yaitu :
1.      Keidanren (Federation of Economic Organizations)
2.      Nisho (Japan Chamber of Commerce and Industry)
3.      Keizai Doyukai (japan Committee for Economic Development)
4.      Nikkeiren  (Federation of Employeres Organization).
Di samping itu terdapat pula organisasi perusahaan swasta (yang bersifat prifat), yaitu Keiretsuka (semacam perusahaan yang mempunyai anak-anak perusahaan pembuat komponen), misalnya Mitsui group atau Mitshubishi group.

Organisasi/asosiasi –asosiasi tersebut dapat dimasukkan sebagai interest asosiasi, yang mempunyai pengaruh dalam pembuatan kebijaksanaan di bidang bisnis dan industri Jepang. Karena situasi dan kondisi politik di Jepang (tempat interest group tersebut hidup dan berkembang ), maka interset group bisa berubah menjadi pressure group (golongan penekan), yaitu golongan yang bisa memaksakan kehendaknya kepada pihak penguasa. Sehingga kelompok Big Bussines tersebut dapat disebut sebagai golongan penekan (walau mungkin pada mulanya tidak ditujukan menjadi golongan penekan), sebab kelompok tersebut dalam pelaksanaan sistem politik Jepang dapat mempengaruhi supra struktur politik, khususnya pemerintah atau eksekutif atau cabinet dalam pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan.

Media juga ikut berperan penting dalam proses pembuatan kebijakan di Jepang, dimana media sebagai alat perantara yang digunakan untuk menyalurkan pendapat-pendapat dari masyarakat, pakar atau tokoh-tokoh politik terhadap Cabinet dan National Diet.

b.      Policy Formulation
Pada tahap perumusan kebijakan, proses yang terjadi adalah pengembangan proposal kebijakan untuk menyelesaikan dan memperbaiki masalah yang telah dibahas pada tahap pertama. Aktor yang terlibat pada tahap ini adalah lembaga eksekutif yakni Cabinet yang terdiri dari Dewan Menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Karena sebagian besar anggota eksekutif diduduki oleh Partai Demokrasi Liberal, maka Partai Demokrasi Liberal selalu dilibatkan secara aktif dalam mekanisme pembuatan kebijakan.

c.       Policy Adoption
Tahap ketiga adalah legitimasi kebijakan, dimana pengembangan dukungan terhadap sebuah proposal tertentu itu sangat penting agar sebuah kebijakan dapat dilegitimasi atau disahkan. Jadi dlam tahap ini yang dilakukan adalah memilih proposal, mengembangkan dukungan untuk proposal terpilih, menetapkannya menjadi peraturan hokum dan memutuskan konstitusionalnya.

Aktor-aktor yang terlibat pada tahap ini di Negara Jepang adalah Diet dan partai yang berkuasa yaitu Partai Demokrasi Liberal. Bukanlah pekerjaan yang mudah bagi mereka, dan unsur-unsur didalamnya, untuk membuat rancangan undang-undang yang akan memperoleh dukungan mayoritas Diet dan lolos menjadi undang-undang. Berbagai kementrian dan badan mengajukan rancangan undang-undang. Tetapi RUU itu sebelumnya telah melalui proses perundingan antar kementrian. Dalam tubuh Partai Demokrasi Liberal mempunyai alat perlengkapan tentang pembuatan kebijakan yang dipusatkan pada “Policy Research Council” dan “General Council”.

Susunan “The LDP Policy Research Council” terdiri dari seorang anggota ketua, tujuh wakil ketua, 23 anggota Policy Deliberation Commission, 17 divisi, dan dosen-dosen dari komite khusus (special communittees) dan komite riset (research commissions). Masing-masing divisi selalu mengadakan hubungan dengan Diet, terdiri dari seorang Direktur, beberapa deputy direktur, dan sejumlah anggota tidak tetap. Komite khusus dan komite riset  bertugas mengadakan penyelidikan dan memberi pertimbangan-pertimbangan mengenai macam-macam topik, seperti perbaikan pajak, gempa bumi dan sebagainya.

Susunan “the LDP General Council”terdiri dari 40 anggota , dan dipimpin oleh seorang ketua (yang juga sebagai pejabat penting di partai). Bertugas memberi petunjuk dan pertimbangan mengenai manajemen partai. Dalam hal pembuatan kebijakan, General Council ada di bawah Policy Research Council.

Setiap tindakan penting pemerintah, seperti undang-undang yang berasal dari parlemen, anggaran belanja negara, pembuatan traktat atau keputusan kebijakan luar negeri, yang ditangani menteri atau lembaga lainnya, harus memperoleh persetujuan dari LDP Policy Research Council. Jadi pada dasarnya, Komite Penelitian Urusan Kebijaksanaan dalam Partai Demokrasi Liberal memegang peranan yang sangat penting. Bagian-bagian dan panitia-panitia dalam komite ini mengajukan pendapat mereka sendiri mengenai perundang-undangan yang teliti antara bagian-bagian birokrasi dan bagian-bagian komite yang bersangkutan maka lahirlah RUU itu, yang kemudian masih menjalani proses pembahasan, penelaahan dan perubahan yang memakan waktu lama.

RUU pertama kali harus mempereroleh persetujuan Komite Penelitian secara keseluruhan dan kemudian Dewan Eksekutif Partai. Dari sini RUU itu dibawa ke Biro Legislatif dibawah kabinet untuk melihat apabila masih ada masalah birolratis didalamnya. RUU itu kemudian siap untuk disetujui oleh kabinet dan diajukan ke Diet, dimana hal tersebut dijamin akan didukung oleh partainya dan karenanya bermungkinan besar RUU tersebut menjadi Undng-Undang.

d.      Implementation
pada tahap implementasi ini terjadi pengorganisasian departemen dan badan, menyediakan pembiayaan atau jasa pelayanan bagi kebijakan-kebijakan yang telah dilegitimasi melalui konstitusi.

e.       Evaluation
Tahap akhir dalam proses pembuatan kebijakan yaitu evaluasi terhadap jalannya kebijkan. Melihat apakah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah berjalan secara efektif, apakah kebijakan tersebut sudah mencapai kelompok sasaran dan bukan kelompok sasaran, serta menganalisis mengapa kebijakan tersebut bisa efektif atau tidak efektif, dll.

Aktor yang berperan dalam tahap ini adalah lembaga judisiil yakni mahkamah agung dan media massa.
2.    2.      Seberapa besar faktor internasional yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan ?
Faktor internasional juga ikut mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Input yang dibahas pada proses pembuatan kebijakan berupa tuntutan dan dukungan yang berasal dari masyarakat baik itu dalam wilayah regional, nasional maupun internasional. Misalnya saja proses pembuatan kebijakan di Negara Jepang sangat dipengaruhi oleh Amerika Serikat, karena saat ini Jepang berada dibawah naungan Amerika Serikat khususnya dibidang militer.

 3.    Sejauh mana peran institusi dalam policy making?
    generally, policy institutions serve to reduce complexities inherent to the policy making process (Simon 1957; March and Olsen 1984; Luhmann 1985).

Dari perspektif rasionalis, lembaga-lembaga dapat membentuk hubungan dan menghindari suboptimal solutions yang diberikan dari prisoner’s dilemma. dari poin-poin sosiologi, lembaga-lembaga dapat mendukung kerjasama melalui the provision of moral atau cognitive templates (Hall dan Taylor 1996).

Dalam proses pembuatan kebijakan  juga diperlukan hubungan antara legislatif dan eksekutif. Pada negara jepang, sistem kelembagaannya menggunakan model consensus democracies yang fokus pada pembagian kekuasaan dengan pemisahan dan keseimbangan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif.

 4.   Policy Style di Negara Jepang
  Pencapaian politik di semua negara dapat dilihat dari bagaimana pembuatan kebijakan yang akan diterapkan, baik kebijakan luar negeri maupun dalam negeri. Policy style yang diterapkan oleh setiap negara memiliki model yang berbeda. Dengan adanya pembedaan tersebut semakin memberikan kemudahan dalam melihat bagaimana policy style berjalan. Negara Jepang memliki policy style sendiri dalam pembuatan kebijakan dan negara tersebut cenderung masuk dalam model incremental style. Incremental policymaking melihat kepada program yang sudah ada atau kebijakan, dan penggunaan model ini sebagai salah satu fondasi untuk menerapkan perubahan. Dari pada kerajinan satu program baru atau kebijakan sejak awal dengan tujuan untuk bangun dan meningkatkan apa yangtelah didirikan. Ini dipikirkan dari sebagai satu konservatif policymaking yang mendekati karena policymakers biasanya menerima program atau kebijakan dan mungkin lebih adanya peningkatan dukungan.

  Dari penjelasan di atas dapat dilihat gaya yang diterapkan oleh Jepang diadopsi dari Yoshida doctrine yang dikeluarkan setelah berakhirnya perang dunia dengan tujuan pemulihan kembali keadaan negara jepang. Perbaikan ekonomi merupakan tujuan utama dan meninggalkan pertahanan dengan berkerjasama bersama Amerika untuk perthanan. Hingga pada masa sekarang penyempurnaan dari model Yoshida berjalan dengan bertahap. Tahun 1960an Jepang melaksanakan penguatan terhadap doktrin yoshida dimana dengan mengurangi politik lebih meningkatkan kegiatan ekonomi atau peningkatan ekonomi. Tahun 1970an jepang melihat pada masa ini adanya suatu sector yang penting yaitu kebijakan luar negeri. Dengan tidak meniggalkan pakem dari doktrin yoshida namun terjadi proses transisi ekonomi politik iternasional  karena pada fase ini jepang ingin mempromosikan politk independen mereka.

  Hingga abad 21 tetap menggunakan model ini, namun kondisi ekonomi Jepang mulai mengalami kegoyahan dimana inflasi yang terus menurun dan tingkat suku bunga yang rendah. Jepang mulai melihat peningkatan pertahanan dirasa harus menjadi perhatian. Namun sampai sekarang jepang tetap tidak memiliki angkatan bersenjata yang resmi tapi mereka mempunyai tentara bela negara yang tujuannya untuk mengamankan negara Jepang.
Sumber :
Hayashi, Shigeko. Japan and East Asian monetary regionalism: towards a proactive leadership role?
Mas’oed, mohtar. Perbandingan sistem politik Indonesia. Gajah mada university press: 1978. Yogyakarta.