a. Agenda Setting
Pada tahap ini, yang dilakukan
adalah menentukan berbagai masalah-masalah apa yang akan diputuskan, masalah
apa yang akan dibahas atau ditangani oleh pemerintah. Karena Jepang merupakan
Negara yang menganut sistem politik demokrasi, maka fokus pembicaraannya adalah
mengenai interaksi aktif yang erat, selaras, saling mengisidan saling
memberi pengertian antara komponen supra struktur politik, sehingga
terdapat suasana kehidupan kenegaraan yang harmonis dalam menentukan kebijakan
umum dan menetapkan keputusan politik. Dalam hal ini, masyarakat yang
tercermin dalam komponen –komponen infra struktur politik berfungsi sebagai
masukan (input) yang berwujud pernyataan kehendak dan tuntutan
masyarakat, sedangkan supra struktur politik berfungsi sebagai output
dalam hal menentukan kebijakan umum yang berwujud keputusan-keputusan
politik.
Jepang mempunyai
struktur ketatanegaraan yang meliputi supra struktur politik dan infra struktur
politik.
- · Supra Struktur Politik
Meliputi
lembaga-lembaga kenegaraan atau alat-alat perlengkap Negara. Supra struktur
politik Negara Jepang menurut Konstitusi 1947 terdiri dari:
a. Lembaga Legislatif (Legislature) : National Diet (Parlemen Nasional)
b. Lembaga Eksekutif (Executive) : Cabinet (Dewan Menteri) yang dipimpin oleh
Perdana Menteri
c. Lembaga Judisiil (Judiciary) : Supreme Court (Mahkamah Agung)
- · Infra Struktur PolitikMeliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan lembaga –lembaga kemasyarakatan, yang dalam aktivitasnya mempengaruhi (baik secara langsung maupun tidak langsung) lembaga-lembaga kenegaraan dalam menjalankan fungsi serta kekuasaannya masing-masing. Infrastruktur ini terdiri dari lima 5 komponen/unsur, yaitu :1. Partai politik (political party)2. Golongan kepentingan (interest group), terdiri dari :a. Interest group asosiasib. Interest group institusionalc. Interest group non asosiasid. Interest group yang anomik3. Golongan penekan (pressure group)4. Alat komunikasi politik (media political communication)5. Tokoh politik (political figure)
Jepang sebagai suatu
negara yang menganut sistem politik demokrasi, tidak dapat meniadakan hidup dan
berkembangnya partai politik, dengan kata lain adanya partai politik merupakan
salah satu ciri bahwa Jepang merupakan negara demokrasi. Sampai saat ini,
Jepang menganut sistem multy partai yaitu ada enam (6) partai besar, yaitu:
1. Liberal Democratic Partay (jiyu Minshuto or Jiminto), yang banyak
didukung oleh birokrat, pengusaha, dan petani.
2. The Japan Socialist Party (nippon S Hakaito), yang didukung oleh
buruh
3. The Komneito (Clean Goverment Party), yang didukung para penganut agama
Budha.
4. The Democatic Socialist Party (Minshato), yang didukung oleh
buruh
5. The Japan Communist Party (Nihon Kyosanto), yang didukung oleh
komunis.
6. The United Social Democratic Party (Shakai Minshu Rengo of Shminren), merupakan partai
termuda dan terkecil di Jepang
Sejak pasca Perang
Dunia kedua hingga saat ini Partai Demokrasi Liberal (LDP) mendominasi di
Jepang. Banyak para anggota dari Partai Demokrasi Liberal yang duduk di Cabinet
dan National Diet.
Golongan kepentingan
(interest group) di Jepang, antara lain ialah kelompok perusahaan-perusahaan
besar Jepang atau kelompok Big Business . Ada empat (4) asosiasi bisnis
(business associations) khusus yang terutama / penting di Jepang, yaitu :
1. Keidanren (Federation of Economic Organizations)
2. Nisho (Japan Chamber of Commerce and Industry)
3. Keizai Doyukai (japan Committee for Economic Development)
4. Nikkeiren (Federation of Employeres Organization).
Di samping itu
terdapat pula organisasi perusahaan swasta (yang bersifat prifat), yaitu
Keiretsuka (semacam perusahaan yang mempunyai anak-anak perusahaan pembuat
komponen), misalnya Mitsui group atau Mitshubishi group.
Organisasi/asosiasi
–asosiasi tersebut dapat dimasukkan sebagai interest asosiasi, yang mempunyai
pengaruh dalam pembuatan kebijaksanaan di bidang bisnis dan industri Jepang.
Karena situasi dan kondisi politik di Jepang (tempat interest group tersebut
hidup dan berkembang ), maka interset group bisa berubah menjadi pressure group
(golongan penekan), yaitu golongan yang bisa memaksakan kehendaknya kepada
pihak penguasa. Sehingga kelompok Big Bussines tersebut dapat disebut sebagai
golongan penekan (walau mungkin pada mulanya tidak ditujukan menjadi golongan
penekan), sebab kelompok tersebut dalam pelaksanaan sistem
politik Jepang dapat mempengaruhi supra struktur politik, khususnya
pemerintah atau eksekutif atau cabinet dalam pengambilan
keputusan atau pembuatan kebijakan.
Media juga ikut
berperan penting dalam proses pembuatan kebijakan di Jepang, dimana media
sebagai alat perantara yang digunakan untuk menyalurkan pendapat-pendapat dari
masyarakat, pakar atau tokoh-tokoh politik terhadap Cabinet dan National Diet.
b. Policy Formulation
Pada tahap perumusan
kebijakan, proses yang terjadi adalah pengembangan proposal kebijakan untuk
menyelesaikan dan memperbaiki masalah yang telah dibahas pada tahap pertama.
Aktor yang terlibat pada tahap ini adalah lembaga eksekutif yakni Cabinet yang
terdiri dari Dewan Menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Karena sebagian
besar anggota eksekutif diduduki oleh Partai Demokrasi Liberal, maka Partai
Demokrasi Liberal selalu dilibatkan secara aktif dalam mekanisme pembuatan
kebijakan.
c. Policy Adoption
Tahap ketiga adalah
legitimasi kebijakan, dimana pengembangan dukungan terhadap sebuah proposal
tertentu itu sangat penting agar sebuah kebijakan dapat dilegitimasi atau
disahkan. Jadi dlam tahap ini yang dilakukan adalah memilih proposal,
mengembangkan dukungan untuk proposal terpilih, menetapkannya menjadi peraturan
hokum dan memutuskan konstitusionalnya.
Aktor-aktor yang
terlibat pada tahap ini di Negara Jepang adalah Diet dan
partai yang berkuasa yaitu Partai Demokrasi Liberal. Bukanlah pekerjaan yang
mudah bagi mereka, dan unsur-unsur didalamnya, untuk membuat rancangan
undang-undang yang akan memperoleh dukungan mayoritas Diet dan
lolos menjadi undang-undang. Berbagai kementrian dan badan mengajukan rancangan
undang-undang. Tetapi RUU itu sebelumnya telah melalui proses perundingan antar
kementrian. Dalam tubuh Partai Demokrasi Liberal mempunyai alat
perlengkapan tentang pembuatan kebijakan yang dipusatkan pada “Policy Research
Council” dan “General Council”.
Susunan “The LDP
Policy Research Council” terdiri dari seorang anggota ketua, tujuh wakil ketua,
23 anggota Policy Deliberation Commission, 17 divisi, dan dosen-dosen dari
komite khusus (special communittees) dan komite riset (research commissions).
Masing-masing divisi selalu mengadakan hubungan dengan Diet, terdiri dari
seorang Direktur, beberapa deputy direktur, dan sejumlah anggota tidak tetap.
Komite khusus dan komite riset bertugas mengadakan penyelidikan dan
memberi pertimbangan-pertimbangan mengenai macam-macam topik, seperti perbaikan
pajak, gempa bumi dan sebagainya.
Susunan “the LDP
General Council”terdiri dari 40 anggota , dan dipimpin oleh seorang ketua (yang
juga sebagai pejabat penting di partai). Bertugas memberi petunjuk dan
pertimbangan mengenai manajemen partai. Dalam hal pembuatan kebijakan, General
Council ada di bawah Policy Research Council.
Setiap tindakan
penting pemerintah, seperti undang-undang yang berasal dari parlemen, anggaran
belanja negara, pembuatan traktat atau keputusan kebijakan luar negeri, yang
ditangani menteri atau lembaga lainnya, harus memperoleh persetujuan dari LDP
Policy Research Council. Jadi pada dasarnya, Komite Penelitian Urusan
Kebijaksanaan dalam Partai Demokrasi Liberal memegang peranan yang sangat
penting. Bagian-bagian dan panitia-panitia dalam komite ini mengajukan pendapat
mereka sendiri mengenai perundang-undangan yang teliti antara bagian-bagian
birokrasi dan bagian-bagian komite yang bersangkutan maka lahirlah RUU itu,
yang kemudian masih menjalani proses pembahasan, penelaahan dan perubahan yang
memakan waktu lama.
RUU pertama kali harus
mempereroleh persetujuan Komite Penelitian secara keseluruhan dan kemudian
Dewan Eksekutif Partai. Dari sini RUU itu dibawa ke Biro Legislatif dibawah
kabinet untuk melihat apabila masih ada masalah birolratis didalamnya. RUU itu
kemudian siap untuk disetujui oleh kabinet dan diajukan ke Diet, dimana hal
tersebut dijamin akan didukung oleh partainya dan karenanya bermungkinan besar
RUU tersebut menjadi Undng-Undang.
d. Implementation
pada tahap
implementasi ini terjadi pengorganisasian departemen dan badan, menyediakan
pembiayaan atau jasa pelayanan bagi kebijakan-kebijakan yang telah dilegitimasi
melalui konstitusi.
e. Evaluation
Tahap akhir dalam
proses pembuatan kebijakan yaitu evaluasi terhadap jalannya kebijkan. Melihat
apakah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah berjalan secara efektif, apakah
kebijakan tersebut sudah mencapai kelompok sasaran dan bukan kelompok sasaran,
serta menganalisis mengapa kebijakan tersebut bisa efektif atau tidak efektif,
dll.
Aktor yang berperan
dalam tahap ini adalah lembaga judisiil yakni mahkamah agung dan media massa.
2. 2. Seberapa besar faktor internasional yang mempengaruhi proses pembuatan
kebijakan ?
Faktor internasional
juga ikut mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Input yang dibahas pada
proses pembuatan kebijakan berupa tuntutan dan dukungan yang berasal dari
masyarakat baik itu dalam wilayah regional, nasional maupun internasional.
Misalnya saja proses pembuatan kebijakan di Negara Jepang sangat dipengaruhi
oleh Amerika Serikat, karena saat ini Jepang berada dibawah naungan Amerika
Serikat khususnya dibidang militer.
3. Sejauh
mana peran institusi dalam policy making?
generally, policy
institutions serve to reduce complexities inherent to the policy
making process (Simon 1957; March and Olsen 1984; Luhmann 1985).
Dari perspektif rasionalis,
lembaga-lembaga dapat membentuk hubungan dan menghindari suboptimal solutions
yang diberikan dari prisoner’s dilemma. dari poin-poin sosiologi,
lembaga-lembaga dapat mendukung kerjasama melalui the provision of moral atau
cognitive templates (Hall dan Taylor 1996).
Dalam proses pembuatan kebijakan
juga diperlukan hubungan antara legislatif dan eksekutif. Pada negara
jepang, sistem kelembagaannya menggunakan model consensus democracies yang
fokus pada pembagian kekuasaan dengan pemisahan dan keseimbangan kekuasaan
antara legislatif dan eksekutif.
4. Policy Style
di Negara Jepang
Pencapaian politik di semua
negara dapat dilihat dari bagaimana pembuatan kebijakan yang akan
diterapkan, baik kebijakan luar negeri maupun dalam negeri. Policy
style yang diterapkan oleh setiap negara memiliki model yang berbeda.
Dengan adanya pembedaan tersebut semakin memberikan kemudahan dalam melihat
bagaimana policy style berjalan. Negara Jepang memliki policy
style sendiri dalam pembuatan kebijakan dan negara tersebut cenderung
masuk dalam model incremental style. Incremental policymaking melihat kepada
program yang sudah ada atau kebijakan, dan penggunaan model ini sebagai
salah satu fondasi untuk menerapkan perubahan. Dari pada kerajinan satu program
baru atau kebijakan sejak awal dengan tujuan untuk bangun dan meningkatkan
apa yangtelah didirikan. Ini dipikirkan dari sebagai satu konservatif
policymaking yang mendekati karena policymakers biasanya menerima program atau
kebijakan dan mungkin lebih adanya peningkatan dukungan.
Dari penjelasan di atas
dapat dilihat gaya yang diterapkan oleh Jepang diadopsi dari Yoshida
doctrine yang dikeluarkan setelah berakhirnya perang dunia dengan
tujuan pemulihan kembali keadaan negara jepang. Perbaikan ekonomi merupakan
tujuan utama dan meninggalkan pertahanan dengan berkerjasama bersama Amerika
untuk perthanan. Hingga pada masa sekarang penyempurnaan dari model Yoshida
berjalan dengan bertahap. Tahun 1960an Jepang melaksanakan penguatan terhadap
doktrin yoshida dimana dengan mengurangi politik lebih meningkatkan
kegiatan ekonomi atau peningkatan ekonomi. Tahun 1970an jepang melihat pada
masa ini adanya suatu sector yang penting yaitu kebijakan luar negeri. Dengan
tidak meniggalkan pakem dari doktrin yoshida namun terjadi proses transisi
ekonomi politik iternasional karena pada fase ini jepang ingin
mempromosikan politk independen mereka.
Hingga abad 21 tetap
menggunakan model ini, namun kondisi ekonomi Jepang mulai mengalami kegoyahan
dimana inflasi yang terus menurun dan tingkat suku bunga yang rendah. Jepang
mulai melihat peningkatan pertahanan dirasa harus menjadi perhatian. Namun
sampai sekarang jepang tetap tidak memiliki angkatan bersenjata yang resmi tapi
mereka mempunyai tentara bela negara yang tujuannya untuk mengamankan negara
Jepang.
Sumber :
Hayashi, Shigeko. Japan and East Asian monetary
regionalism: towards a proactive leadership role?
Mas’oed, mohtar.
Perbandingan sistem politik Indonesia. Gajah mada university press: 1978.
Yogyakarta.